Senin, 03 November 2014

ANAK INDIGO PALEMBANG WARISI DARAH UNGU

ilustrasi


PALEMBANG, TRIBUN- Suasana di Jalan A Yani, Plaju, Rabu (22/10), ramai oleh kendaraan melintas, pejalan kaki, dan pedagang. Tetapi pandangan seorang wanita berjilbab yang duduk di teras restoran cepat saji siang itu, enggan lama-lama ke arah keramaian. Ia lebih banyak menunduk, sesekali menoleh temannya di samping.

 “Saya lihat ada seorang istri seorang Belanda di belakang itu. Istri Mayor Williams,” ujarnya menyebut sosok mahluk gaib yang berdiri di belakang Tribun Sumsel siang itu.

DL, merupakan satu dari delapan anak yang diketahui memiliki kemampuan indigo yang tinggal di Palembang. Indigo adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural.

Selain itu, ia juga memiliki kemampuan melihat peristiwa di masa lampau (retrocognition). Dua kemampuan yang diperoleh dan disadari satu bulan setelah dia duduk di kelas 1 SMP.
Namun, gara-gara ketidakmampuan mengendalikan kelebihan itu berujung pada hal yang menyakitkan hati wanita berparas ayu ini. Ia dicemooh teman di sekolah, dikatakan gila, dipukul, dan jilbabnya ditarik sampai lepas. Tak bisa diperbuat, ia hanya bisa menangis menerima perlakuan keji itu.

 “Saya waktu itu pernah melihat ada anak-anak mahluk itu (gaib) turun tangga, lalu meminta teman-teman minggir agar tidak ditabrak. Mereka tidak percaya, malah mengatakan bohong. Sudah katakan ke guru, tapi diminta untuk tidak lagi membicarakannya,” ujar gadis ini.

Hampir semua temannya tidak percaya lagi pasca kejadian itu. Oleh sebab itu dia mengahbiskan banyak waktu senggang di sekolah untuk mengunjungi perpustakaan. Supaya tidak diejek dan menghindari pertentangan pendapat dengan temannya.

Setamatnya dari sekolah itu, DL tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Ia dan orangtuanya khawatir kejadian menyakitkan itu bakal terulang di sekolah yang baru.
Bahkan saat ini, pergaulan gadis setinggi 155 centimeter ini tidak sebebas seperti biasanya. Hari-harinya banyak dihabiskan di rumah, menulis novel, membaca, bermain komputer, dan nonton tv.

Rasa kesepian itu perlahan hilang sejak mengenal Rassa Shienta ZA, juga indigo yang lebih senior. Rassa, merupakan penulis novel yang berniat membimbing juniornya itu agar bisa mengoptimalkan kemampuannya untuk hal-hal berguna.

Pertemuan itu bermula dari pertemanan di jejaring sosial. Setelah melalui proses pengenalan cukup lama, keduanya semakin akrab ketika sudah berjumpa langsung. Setelah dipelajari kemampuan dan dilakukan pemetaan potensi, Rassa memastikan bakat yang dimiliki anak asuhnya itu menjadi penulis.

“Saya setelah menemukan anak, akan pelajari karakter, genetiknya, dan riwayat indigonya. Lalu petakan potensinya, tidak semua orang bisa menulis. Kalau yang satu ini saya lihat punya kemampuan menulis,” ujarnya sambil memegang pundak gadis cantik di sebelahnya.
Pemetaan potensi itu juga pernah dilakukannya untuk anak indigo yang berasal dari Prabumulih. Orangtua pemuda itu berkeinginan anaknya menjadi guru. Setelah dilakukan tes pemetaan potensi, pemuda itu diketahui berbakat di bidang musikal.

“Baru kemudian dicarikan universitas yang cocok untuknya. Kemudian disarankan di UNY prodi musik dan sekarang sudah semester 7,” ujar Rassa.

Sebagai orang yang dituakan dan memiliki kemampuan menjaga emosi, Rassa ditunjuk oleh komunitas Indigo di Indonesia untuk memberikan bimbingan pada anak-anak Indigo di Palembang dan sekitarnya.

Sampai sekarang setidaknya telah ditemukan sebanyak delapan orang indigo. Kebanyakan memang berusia muda, 15-23 tahun.

Tugas utamanya membuat anak-anak itu mampu mengendalikan emosi, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, meningkatkan kemampuan, dan membuat lingkungan anak-anak itu tidak menjauhi mereka.

“Mengungkapkan langsung ke orang lain bahwa kita adalah indigo tentu tidak akan percaya. Mereka butuh pembuktian. Saya saja, baru diketahui publik sebagai indigo setelah dua tahun terakhir. Terutama setelah novel terbit,” ungkapnya.

Wanita yang menamatkan kuliah Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) Universitas Terbuka (UT) ini merasakan adanya kemampuan indigo pada usia 4 tahun. Meski sempat mendapat penolakan dari lingkungan cukup lama, ia kini bisa menghasilkan karya yang dinikmati banyak orang.

Novel berjudul “Dimensi” yang dibuatnya bersama Triani Retno A telah dicetak sebanyak 12.000 buku pada Juli 2014. Sejumlah toko buku mengaku kehabisan stok, sehingga direncanakan pada November ini akan dicetak lagi untuk kedua kalinya.

Rassa masih ingat jelas saat-saat pertamakali memiliki kemampuan indigo. Waktu itu Rassa kecil yang sedang berkumpul bersama kelurga tiba-tiba bertanya kepada orangtuanya. Tentang siapa sosok ulama bersorban hijau yang ada di rumahnya. Suasana lantas hening. Orangtua Rassa mengelak dengan mengatakan, tidak ada siapa-siapa di rumahnya.

Perjumpaannya dengan pria besorban itu beberapa kali terulang. Namun pertanyaan yang dilontarkan tetap saja tidak digubris orangtuanya.

Kakek Rassa yang juga memiliki kemampuan indigo mulai memahami bahwa cucunya juga memiliki kemampuan yang sama. Bahwa Rassa memiliki kemampuan melihat alam lain (gaib, red). Ia dikaruniai sebagai seorang anak indigo.

"Mengapa kakek bilang begitu. Belum saatnya Rassa tahu dia indigo," ujar Rassa menirukan perkataan orangtuanya.

Setelah mengetahui bahwa ia adalah anak indigo saat masih berumur 4 tahun. Seketika kehidupannya berubah. Ia mulai mengalami berbagai kejadian aneh di hidupnya.
"Setelah 3 atau 4 kali didatangi oleh ulama bersorban hijau. Sa (Rassa) cerita ke kakek dan kakek langsung tau siapa yang Sa liat," ujarnya saat menceritakan kisahnya sebagai anak indigo.

Karena dianggap masih kecil dan takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, ayah Rassa meminta kepada kakeknya agar kemampuan Rassa ditutup terlebih dahulu.
"Tapi kakek tidak boleh. Sa cuma dirukhiyah dengan doa-doa, biar Sa tidak diganggu (gaib)," lanjutnya

Sebagai anak indigo, kemampuan Rassa melebihi anak-anak sebayanya. Ia selalu menganalisa kejadian yang dialami. Intelektualnya berada pada level yang lebih tinggi dibanding anak-anak seusianya. Hal tersebut membuat ia sulit mendapatkan teman yang cocok.

"Tidak ada teman yang cocok dengan Sa. Teman-teman bilang Sa, mikir kepanjangan, teman-teman juga suka bilang Sa aneh dan sebagainya. Sempat sedih juga digituin," ungkapnya

Rassa mengaku beruntung, ia dilahirkan di keluarga yang memiliki pemahaman tentang indigo. Perlahan-lahan diberikan pendidikan agama. Umur 5 tahun Rassa diarahkan untuk menjadi penghafal Alquran.

" Biar Sa ada kegiatan sekalipun tidak punya teman," jelasnya.

Pertama kali mencari tahu apa itu indigo dilakukan Rassa saat bermur 18 tahun. Ia tidak puas hanya mendapatkan pemahaman dari orangtua. Bukti ilmiah dilakukan oleh Rassa.
Media internet membuatnya lebih banyak mendapatkan pengertian apa itu indigo. Selain itu ia juga bertemu dengan seorang yang banyak tahu tentang indigo.

"Dari orang tersebut Sa banyak dapat info lagi tentang indigo," ujarnya
Pada 2004, Rassa divonis gagal jantung. Ia lebih sering berada di rumah sakit untuk medical chek-up. Setidaknya selama 2 tahun Rassa selalu rajin ke rumah sakit.

Melalui dokter jantung yang merawatnya, Rassa tahu jika anak indigo itu bisa dibuktikan secara ilmiah melalui tes DNA dan darah.

"Tes DNA Sa baru dilakukan tahun 2006," ungkapnya

Hasil tes DNA tersebut menunjukkan bahwa rantai DNA Rassa memiliki bilangan angka ganjil. Normalnya rantai DNA berjumlah genap. Rassa semakin yakin bahwa ia adalah anak indigo.

Selain itu hasil cek darah menunjukkan bahwa darah Rassa memiliki warna berbeda dari orang normal. Dokter melihat sel darah merah yang dimiliki Rassa tidak sepenuhnya berwarna merah.

" Saat dilihat di mikroskop warna darah Sa cenderung ungu (nila)," tambahnya.

# Sempat Menutup Diri

Menjadi seorang anak indigo membuat Rassa cukup tertekan. Ia merasakan bahwa dirinya berbeda dengan teman-temannya.

Disaat ia melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain dan menceritakannya kepada teman-temannya, selalu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan.

"Misalnya Sa menceritakan bahwa ada makhluk gaib di sekitar teman-teman. Orang-orang tidak akan percaya. Ini terjadi berulang kali," ujarnya

Tidak adanya orang yang percaya membuat Rassa menarik diri dari lingkungan. Ia memilih untuk diam. Menurutnya percuma jika menceritakan hal-hal yang tidak bisa diterima orang lain.

Cukup lama Rassa tidak bersosialisasi setidaknya mulai dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga duduk di bangku kuliah semester tiga.

"Semester tiga Sa kenal dengan teman cewek penyiar radio. Nah dia lah yang bikin Sa percaya diri lagi. Dia juga yang nyemangati Sa dan memperkenalkan dengan dunia," ungkapnya

Ada satu kalimat yang dikatakan temannya tersebut yang membuat Rassa selalu ingat dan terus berusaha untuk tidak lagi menutup diri dari lingkungan.

"Tutup mata rapat-rapat dan buka pikiran seluas-seluasnya dan rasakanlah bahwa keindahan dunia itu jauh lebih luas dan indah dari pandangan mata kita yg hanya sebatas," ujarnya

Lanjutnya, setelah merenungi kalimat itu dirinya baru sadar jika selama menutup diri ia seperti katak dalam tempurung yang melihat dunia hanya sebatas pandangan mata saja.
"Padahal di luar sana dunia itu luas dan bisa menerima Sa hadir di dalamnya," jelasnya.

# Alami Kejadian Aneh

Sebagai anak indigo Rassa sangat peka terhadap hal-hal tidak kasat mata. Mengalami kejadian aneh kerap terjadi di kehidupannya.

Saat masih sekolah Rassa pernah melihat aura tempatnya bersekolah memancarkan warna merah. Dirinya mengetahui akan terjadi sesuatu yang tidak baik di sekolah tersebut.
Dirinya sadar tidak akan ada orang yang percaya jika ia menceritakan apa yang ia lihat. Meskipun begitu ia tetap bercerita dengan satu temannya.

"Hanya berselang beberapa hari terjadi kesurupan massal di sekolah," terangnya.

Tubuh anak indigo sangat peka terhadap gejala perubahan alam. Sebelum terjadi bencana alam anak-anak indigo telah terlebih dahulu merasakannya.

Begitu juga sebelum gempa besar di Aceh yang menimbulkan Tsunami. Rassa telah merasakannya terlebih dahulu. Sebelum terjadi gempa, tubuh Rassa tiba-tiba sakit. Kepalnya pusing hebat yang membuatnya dibawa ke rumah sakit.

"Puncaknya saat terjadi gempa dan tsunami saya pingsan. Setelah diperiksa tidak ada gejala penyakit yang dialami. Dokter bingung," ungkapnya.

Ketika bencana gempa dan tsunami di Aceh selesai, tubuh Rassa kembali pulih. Bahkan lebih sehat dari sebelumnya. Dokterpun bertanya kepada Rassa tentang apa yang ia alami.
Kebiasaan Rassa yang tidak bisa mengungkapkan apa yang ia alami membuat orangtuanya selalu memberikan buku dan pena untuk Rassa menuliskannya.

Dalam tulisannya Rassa menceritakan bahwa tubuhnya seperti ditarik-tarik oleh medan magnet yang kuat.

"Saya diberi buku dan pena untuk menuliskan apa yang saya alami. Arahnya pas dengan pusat gempa di Aceh," ungkapnya. (wan/bbn)